Bulan Muharam
Sesungguhnya bulan Muharram merupakan bulan yang agung lagi penuh berkah.
Muharram adalah awal bulan pada tahun hijriyah dan termasuk salah satu dari
bulan-bulan haram, sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya :
“Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di-antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu” (QS. At -Taubah :36).
Adapun
maksud dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala “Janganlah kamu menganiaya diri
kamu” yakni, pada bulan-bulan haram karena kesalahan atau dosa yang dikerjakan
waktu itu lebih besar dibandingkan dengan kesalahan atau dosa yang dikerjakan
pada bulan-bulan selainnya. Berkata Qatadah rahimahullah, “Sesungguhnya
kezhaliman yang dikerjakan pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya
dibandingkan jika dikerjakan di luar bulan-bulan haram, walaupun sebenarnya
kezhaliman di dalam segala hal dan keadaan merupakan dosa besar akan tetapi
Allah Azza wa jalla senantiasa mengagungkan dan memuliakan beberapa
perkara/urusan menurut kehendak-Nya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat
At-Taubah: 36).
Diriwayatkan
dari Abu Bakrah radiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…Setahun terdiri dari dua belas bulan di dalamnya terdapat empat bulan haram,
tiga dianta-ranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan keempat
adalah Rajab yang diantarai oleh Jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban.” (HR.
Bukhari)
Dinamakan
Muharram karena tergolong bulan haram dan sebagai penekanan akan ke-haramannya.
Keutamaan
Memperbanyak Puasa Sunnah Pada Bulan Muharram
Dari Abu
Hurairah radiallahu ‘anhu ia telah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah,
Muharram.” (HR. Muslim).
Lafadz
“Syahrullah” (bulan Allah), penyandaran “Bulan” kepada “Allah” dimaksudkan
sebagai bentuk pengagungan-Nya kepada bulan tersebut. Imam Alqari rahimahullah
berkata: “Nampak-nya maksud dari hadits tersebut adalah berpuasa pada seluruh
bulan Muharram.”
Akan tetapi
telah diriwayatkan, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah
berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan saja, jadi hadits ini hanya
menunjukkan keutamaan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa
dengan sebulan penuh.
Dan telah
diriwayatkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin dikarenakan belum turunnya
wahyu kepada beliau yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Muharram kecuali
pada akhir hayatnya sebelum beliau sempat berpuasa pada bulan tersebut. (Lihat
Syarh Shohih Muslim oleh Imam An Nawawi).
Sejarah
‘Asyura
Dari Ibnu
Abbas radiallahu ‘anhuma telah berkata,
“Setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura, beliau bekata, ‘apakah ini?’ mereka
menjawab, ‘Ini adalah hari yang baik dimana Allah menyelamatkan bani Israil
dari musuh-musuhnya hingga Musa berpuasa pada hari itu,’ selanjutnya beliau
berkata, ‘Saya lebih berhak atas Musa dari kalian,’ maka beliau berpuasa dan
memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa pada hari itu.” (HR. Bukhari).
Sebenarnya
puasa ‘Asyura telah dikenal pada zaman jahiliyah sebelum datangnya zaman
nubuwah, dari Aisyah radiallahu ‘anha ia telah berkata, “Sesungguhnya
orang-orang jahiliyah juga berpuasa pada hari itu…” (HR. Bukhari)
Imam
Qurthubi rahimahullah berkata: “Mungkin orang-orang Quraisy waktu itu masih
berpegang dengan syariat sebelumnya seperti syariat Nabi Ibrahim ‘Alaihis
Salam, dan juga telah diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
berpuasa ‘Asyura di Makkah sebelum hijrah ke Madinah dan setibanya di Madinah
beliau kemudian menemukan orang-orang Yahudi merayakan hari itu, maka nabi
menanyakan hal tersebut dan mereka berkata sebagaimana telah disebutkan di
dalam hadits yang lalu, lalu beliau memerintahkan sahabatnya untuk menyelisihi
kebiasaan mereka yang menjadikan ‘Asyura sebagai hari raya, sebagaimana yang
disebutkan di dalam hadits Abu Musa radiallahu ‘anhu, “Asyura adalah hari yang
diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menganggapnya sebagai hari raya” Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah kalian pada hari itu.”
(HR. Muslim).
Keutamaan
Puasa ‘Asyura
Dari Ibnu
Abbas radiallahu ‘anhuma telah berkata:
“Saya tidak
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperhatikan satu hari untuk
berpuasa yang beliau utamakan dari selainnya, kecuali pada hari ini yakni hari
‘Asyura dan bulan ini yakni bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari).
Dari Abu
Qadah radiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Puasa hari
‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa pada satu tahun
sebelumnya.” (HR. Tirmidzi).
Hal ini
sangat jelas merupakan keutamaan Allah bagi kita yang menghapus dosa setahun
hanya dengan berpuasa sehari saja, sesungguhnya Allah-lah, Pemilik keutamaan
yang agung.
Apakah Hari
‘Asyura Itu?
Imam Nawawi
rahimahullah berkata: “Asyura dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur
(terkenal) di dalam buku-buku bahasa (arab), ulama mazhab kami berkata, ‘Asyura
adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari kesembilan
pada bulan tersebut…..’ sebagaimana menurut pendapat kebanyakan ulama, penamaan
itu dapat diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman hadits- haditsnya, dan
pendapat inilah yang terkenal dikalangan ahli bahasa.”
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata: “Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan
Muharram, ini adalah pendapat Sa’id bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah
berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan berpuasa pada
hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh (dari bulan Muharram).’” (HR. Tirmidzi).
Disunnahkan
Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura
Dari
Abdullah bin Abbas radiallahu ‘anhuma telah berkata, “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan
sahabatnya untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
‘Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani,’ maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pada tahun mendatang, Insya
Allah kita juga akan berpuasa pada hari kesembilan,’ dia (Ibnu Abbas) berkata,
‘akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat sebelum tahun
depan.’” (HR. Muslim).
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya berkata, “Disunnahkannya berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari kesembilan.”
Maka, puasa
‘Asyura bertingkat-tingkat: pertama, hanya berpuasa pada hari kesepuluhnya
saja, Kedua, berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh, dan ketiga, dengan
memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah
Disunnahkannya Puasa Tasu’a
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Sebagian ulama dari sahabat kami dan lainnya menyebutkan
beberapa pendapat tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a, diantaranya
adalah untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh.”
Dosa Apakah
Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura
Imam Nawawi
rahimahullah berkata, “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak termasuk
dosa besar.” (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa hari
Arafah).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan,
puasa hari Arafah dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al
Fatawa Al Kubra juz 5).
Bid’ah –
Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul
Islam rahimahullah pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian
orang pada hari ‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan
dengan daun pacar, saling berjabat tangan, memasak kacang-kacangan, menampakkan
perasaan gembira, dan lain sebagainya..apakah kebiasaan-kebiasaan ini memiliki
dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab, ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal yang
demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits nabi yang
shahih dan juga tidak pernah dinukil dari para sahabat juga tabi’in, dan para
ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak mengangapnya sebagai sesuatu
yang baik, dan tidak ada satu hadits pun baik yang shahih atau yang lemah
berbicara mengenai hal itu, akan tetapi sebagian orang belakangan meriwayatkannya
dari beberapa hadits seperti hadits yang berbunyi, “Barang siapa yang memakai
celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada tahun itu,”
dan semisalnya. Telah diriwayatkan di dalam hadits maudhu (palsu) lagi dusta
yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang
melapangkan keluarganya (dalam nafkah belanja dsb.) pada hari ‘Asyura maka
Allah akan meluaskan baginya sepanjang tahun.” Riwayat-riwayat seperti ini
adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian
beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat
terdahulu berupa fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan
Husain radiallahu ‘anhu serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah
kejadian-kejadian itu, kemudian selanjutnya beliau berkata, “Maka firqah
tersebut menjadi sesat dan zholim, diantara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.”
Di antara
penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan Ahlul Bait
secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari berduka cita dan
meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan jahiliyah seperti menampar pipi,
merobek-robek pakaian, saling memanggil dengan panggilan jahiliyah dan memperdengarkan
syair-syair yang menyedihkan, padahal berita-berita tersebut kebanyakan dusta
sehingga apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan kesedihan, sikap
fanatik, menyulut api peperangan dan menyebarnya fitnah diantara kaum muslimin
serta merendahkan generasi terdahulu, sehingga keburukan dan bahaya mereka
sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan oleh orang yang fasih.
Karena itu,
muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang
fanatik terhadap Husein radiallahu ‘anhu dan keluarganya sedangkan lainnya
adalah orang-orang jahil yang membalas kerusakan dengan kerusakan, dusta dengan
dusta, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak
memalsukan riwayat-riwayat sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari
‘Asyura seperti memakai celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada
keluarganya, memasak ma-kanan yang istimewa dan lainnya seba-gaimana yang
dilakukan pada hari raya. Mereka menjadikan Hari ‘Asyura sebagai suatu musim
seperti layaknya hari raya dan waktu bersedih dan bergembira. Kedua kelompok
tersebut menyimpang dan keluar dari sunnah…(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al
Hajjaj rahimahullah menyebutkan bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menyengaja
untuk mengeluarkan zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau diakhir
waktu, mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
Puasa Asyura dan Bulan Muharram
Sesungguhnya bulan Allah Muharram merupakan bulan yang agung lagi penuh berkah,
Muharram adalah awal bulan pada tahun hijriyah dan termasuk salah satu dari
bulan-bulan haram, sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya :
Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu” (QS. At Taubah :36)
Adapun
maksud dari firman Allah سبحانه وتعلى :Janganlah kamu menganiaya diri kamu yakni, pada bulan-bulan
haram karena kesalahan atau dosa yang dikerjakan waktu itu lebih besar
dibandingkan dengan kesalahan atau dosa yang dikerjakan pada bulan-bulan
selainnya. Berkata Qatadah رحمه الله : “Sesungguhnya kezholiman yang dikerjakan pada bulan-bulan
haram lebih besar dosanya dibandingkan jika dikerjakan di luar bulan-bulan
haram, walaupun sebenarnya kezholiman di dalam segala hal dan keadaan merupakan
dosa besar akan tetapi Allah سبحانه وتعلى senantiasa mengagungkan dan memuliakan beberapa perkara/urusan
menurut kehendakNya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat At Taubah: 36).
Diriwayatkan
dari Abu Bakrah , Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda :
…السَّــنَةُ اثْــنَا عَشَرَ شَـهْرًا مِنْـهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَــاتٌ ذُو الْـقَعْدَةِ وَذُو
الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَـيْنَ
جُمَادَى وَشَعْـبَانَ رواه البخاري
“…Setahun
terdiri dari dua belas bulan di dalamnya terdapat empat bulan haram, tiga
diantaranya berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan keempat
adalah Rajab yang diantarai oleh Jumadil (awal dan tsani) dan Sya’ban” (HR.
Bukhari)
Dinamakan
Muharram karena tergolong bulan haram dan sebagai penekanan akan keharamannya.
Keutamaan
Memperbanyak Puasa Sunnah Pada Bulan Muharram :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu ia telah berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :
أَفْضَلُ الصّـِيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ
الْمُحَرَّمُ رواه مسلم
“Puasa yang
paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Allah Muharram” (HR. Muslim).
Lafadz “شهر الله” (Bulan Allah), penyandaran “Bulan” kepada “Allah” dimaksudkan
sebagai bentuk pengagungan-Nya kepada bulan tersebut. Imam Alqari رحمه الله berkata: Nampaknya maksud dari hadits tersebut adalah berpuasa
pada seluruh bulan Muharram”.
Akan tetapi
telah diriwayatkan, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم tidaklah
berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan saja, jadi hadits ini hanya
menunjukkan keutamaan memperbanyak puasa pada bulan Muharram, bukan berpuasa
dengan sebulan penuh.
Dan telah
diriwayatkan juga bahwa Nabi صلى الله عليه
وسلم senantiasa memperbanyak
puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin dikarenakan belum turunnya wahyu
kepada beliau yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada
akhir hayatnya sebelum beliau sempat berpuasa pada bulan tersebut. (Lihat Syarh
Shohih Muslim oleh An Nawawi)
Sejarah
‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم الْمَدِينَةَ
فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : “هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا
يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ
فَصَامَهُ مُوسَى” قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْـكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ رواه البخاري
“Setelah
Nabi صلى الله عليه وسلم tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari ‘Asyura, beliau bekata: “apakah ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah
hari yang baik dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh-musuhnya
hingga Musa berpuasa pada hari itu”, selanjutnya beliau berkata: “Saya lebih
berhak atas Musa dari kalian”, maka beliau berpuasa dan memerintahkan
shahabatnya untuk berpuasa pada hari itu (HR. Bukhari).
Sebenarnya
puasa ‘Asyura telah dikenal pada zaman jahiliyah sebelum datangnya zaman
nubuwwah, dari Aisyah رضي الله عنها ia telah berkata:
أَنَّ قُرَيــْشًا كَانَتْ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فِي الْجَاهِلِيَّةِ ( رواه البخاري
“Sesungguhnya
orang-orang jahiliyah juga berpuasa pada hari itu…”. (HR. Bukhari)
Imam
Qurthubi رحمه الله berkata: “Mungkin orang-orang Quraisy waktu itu masih berpegang
dengan syariat sebelumnya seperti syariat Nabi Ibrahim Alaihissalam, dan juga
telah diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم berpuasa
‘Asyura di Makkah sebelum hijrah ke Madinah dan setibanya di Madinah beliau
kemudian menemukan orang-orang Yahudi merayakan hari itu, maka Nabi menanyakan
hal tersebut dan mereka berkata sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits
yang lalu, lalu beliau memerintahkan sahabatnya untuk me-nyelisihi kebiasaan
mereka yang menjadikan ‘Asyura sebagai hari raya, sebagaimana yang disebutkan
di dalam hadits Abu Musa Radhiyallahu Anhu :
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ وَ تَـتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم صُومُوهُ أَنْـتُمْ , رواه
مسلم
“‘Asyura
adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menganggapnya sebagai
hari raya” Maka Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda: “Berpuasalah
kalian pada hari itu” (HR. Muslim).
Keutamaan
Puasa ‘Asyura :
Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما telah berkata:
مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَـتَحَرَّى
صِيَامَ يـَوْمٍ فَضَّــلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا
الْيـَـوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا
الشَّـهْرَ يَعْنِي شَـهْرَ رَمَضَانَ رواه البخاري
“Saya tidak
melihat Nabi صلى الله عليه وسلم memperhatikan satu hari untuk berpuasa yang beliau utamakan
dari selainnya, kecuali pada hari ini yakni hari ‘Asyura dan bulan ini yakni
bulan Ramadhan” (HR. Bukhari).
Dari Abu
Qadah Radhiyallahu Anhu, Nabi صلى الله عليه
وسلم bersabda:
صِيَامُ يـَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى
اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّــنَةَ الَّتِي قَــبْلَهُ رواه الترمذي
“Puasa hari
‘Asyura, Aku berharap kepada Allah untuk menghapus dosa pada satu tahun
sebelumnya.” (HR. Tirmidzi)
Hal ini
sangat jelas merupakan keutamaan Allah bagi kita yang menghapus dosa setahun
hanya dengan berpuasa sehari saja, sesungguhnya Allahlah Pemilik keutamaan yang
agung.
Apakah Hari
‘Asyura Itu?
Imam Nawawi رحمه الله berkata: ‘Asyura dan tasu’a adalah dua nama yang sudah masyhur
(terkenal) di dalam buku-buku bahasa (arab), ‘ulama mazhab kami berkata:
‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram dan Tasu’a adalah hari
kesembilan pada bulan tersebut, sebagaimana menurut pendapat kebanyakan
‘ulama.Penamaan itu dapat diketahui berdasarkan lafazhnya dan keumuman
hadits-haditsnya, dan pendapat inilah yang terkenal dikalangan ahli bahasa”.
Ibnu
Qudamah رحمه الله berkata: ‘Asyura adalah hari kesepuluh pada bulan Muharram, ini
adalah pendapat Sa’id bin Al Musayyab dan Al Hasan, hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya ia telah berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِصَوْمِ
عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ, رواه الترمذي
“Rasulullah
صلى الله عليه وسلم memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh
(dari bulan Muharram)”.(HHR. Tirmidzi).
Disunnahkan
Berpuasa Tasu’a Sebelum ‘Asyura :
Dari Abdullah bin Abbas رضي الله
عنهما telah berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا :”يـَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالـنَّصَارَى” فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم ) فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ
شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
( قَالَ “فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم ” رواه مسلم
“Ketika
Rasulullah صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan shahabatnya untuk
berpuasa, mereka berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ‘Asyura adalah hari
yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Pada tahun mendatang Insya Allah kita juga akan
berpuasa pada hari kesembilan” dia (Ibnu Abbas) berkata: “akan tetapi beliau صلى الله عليه وسلم telah wafat sebelum tahun depan” (HR. Muslim).
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishak dan lainnya berkata : Disunnahkannya berpuasa pada hari
kesembilan dan kesepuluh, karena Nabi صلى الله عليه وسلم berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat berpuasa pada hari
kesembilan.
Maka dari
itu puasa ‘Asyura bertingkat-tingkat : (pertama): hanya berpuasa pada hari
kesepuluhnya saja, (kedua): berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh dan
(ketiga) dengan memperbanyak puasa pada bulan tersebut.
Hikmah
Disunnahkannya Puasa Tasu’a :
Imam Nawawi
رحمه الله berkata: “Sebagian ‘ulama dari shahabat kami dan lainnya
menyebutkan beberapa pendapat tentang hikmah disunnahkannya puasa Tasu’a,
diantaranya adalah untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari
kesepuluh”.
Dosa Apakah
Yang Dihapus Pada Puasa ‘Asyura :
Imam Nawawi
رحمه الله berkata: “Yang dihapus adalah semua dosa kecil dan tidak
termasuk dosa besar”, (Lihat Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab juz 6 tentang puasa
hari Arafah).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: “Bersuci, sholat, puasa Ramadhan, puasa hari Arafah
dan ‘Asyura hanya dapat menghapus dosa-dosa kecil” (Lihat Al Fatawa Al Kubra
juz 5).
Bid’ah –
Bid’ah ‘Asyura
Syaikhul
Islam رحمه الله pernah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian orang
pada hari ‘Asyura, seperti memakai celak mata, mandi, mengolesi badan dengan
daun pacar, saling berjabat tangan, memasak kacang-kacangan, menampakkan
perasaan gembira, dan lain sebagainya, apakah kebiasaan-kebiasaan ini memiliki
dasar di dalam agama atau tidak?
Beliau
menjawab : ”Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, sesungguhnya hal yang
demikian itu sama sekali tidak disebutkan di dalam hadits-hadits nabi yang
shohih dan juga tidak pernah dinukil dari para shahabat juga tabi’in, dan para
ulama kaum muslimin termasuk Imam yang empat tidak mengangapnya sebagai sesuatu
yang baik, dan tidak ada satu hadits pun baik yang shohih atau yang lemah
berbicara mengenai hal itu, akan tetapi sebagian orang belakangan
meriwayatkannya dari beberapa hadits seperti hadits yang berbunyi: “Barang siapa
yang memakai celak pada hari ‘Asyura maka ia tidak akan tertimpa bencana pada
tahun itu” dan semisalnya. Telah diriwayatkan di dalam hadits maudhu (palsu)
lagi dusta yang disandarkan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم : “Barang siapa yang melapangkan keluarganya (dalam nafkah
belanja dsb) pada hari ‘Asyura maka Allah akan meluaskan baginya sepanjang
tahun”.Riwayat-riwayat seperti ini adalah bentuk kedustaan terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم
Kemudian beliau
رحمه الله menyebutkan secara ringkas apa yang terjadi pada umat terdahulu
berupa fitnah, peristiwa-peristiwa dan kisah tentang pembunuhan Husain
Radhiyallahu Anhu serta apa yang dilakukan oleh sebagian firqah setelah
kejadian-kejadian itu, kemudian selanjutnya beliau berkata: “Maka firqah
tersebut menjadi sesat dan zholim, di antara mereka ada yang kufur, munafik dan
ada yang termasuk orang yang disesatkan.
Di antara
penyimpangannya antara lain mereka mencintai beliau (Husain) dan Ahlul Bait
secara berlebihan, menjadikan hari ‘As-yura adalah hari berduka cita dan
meratap, meraka menampakkan kebiasan-kebiasaan jahiliyah seperti menampar pipi,
merobek-robek pakaian, saling memanggil dengan panggilan jahiliyah dan
memperdengarkan syair-syair yang menyedihkan, padahal berita-berita tersebut
kebanyakan dusta sehingga apa yang mereka perbuat hanya menambah dan melahirkan
kesedihan, sikap fanatik, menyulut api peperangan dan menyebarnya fitnah
diantara kaum muslimin serta merendahkan generasi terdahulu, sehingga keburukan
dan bahaya mereka sampai-sampai tidak lagi dapat dihitung dan disebutkan oleh
orang yang fasih.
Karena itu
muncullah beberapa kaum yang menyimpang yang sebagian mereka adalah orang-orang
fanatik terhadap Husein رضي الله عنه dan keluarganya sedangkan lainnya ada-lah orang-orang jahil
yang membalas keru-sakan dengan kerusakan, dusta dengan dusta, kejelekan dengan
kejelekan, bid’ah dengan bid’ah. Mereka banyak memalsukan riwayat-riwayat
sebagai dalil disyariatkannya bergembira pada hari ‘Asyura seperti mema-kai
celak dan mencat kuku, pemberian nafkah kepada keluarganya, memasak makanan
yang istimewa dan lainnya sebagaimana yang dilakukan pada hari raya. Mereka
menjadikan Hari ‘Asyura sebagai suatu musim seperti layaknya hari raya dan
waktu bersedih dan bergembira. Kedua kelompok tersebut menyimpang dan keluar
dari sunnah.(Lihat Al Fatawa Al Kubra).
Ibnu Al
Hajjaj رحمه الله menyebutkan bahwa diantara bid’ah ‘Asyura adalah menyengaja
untuk mengeluarkan zakat, sama saja jika mengeluarkannya di awal atau di akhir
waktu, mengkhususkam memotong ayam ketika itu dan memakai daun pacar bagi
wanita. (Lihat Al Madkhal juz 1 tentang hari ‘Asyura).
-Abu
Muhammad-
Maraji’ :
Nasyrah “Fadhlu ‘Asyura wa Syahrullahi Al Muharram, Syaikh Muhammad Shalih Al
Munajjid (Al Fikrah)
Bulan Muharam Bukan Bulan Sial
Di Antara Penyebab Terbesar Bencana Merapi
Tradisi LABUHAN MERAPI yang pernah dipimpin MARIDJAN untuk menghormati KYAI SAPU JAGAT [Iblis penghuni Merapi, semoga Allah Ta'ala melaknatnya] yang mereka yakini sebagai penjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan dan warga Jogya, adalah bentuk SYIRIK kepada ALLAH TA’ALA dalam ULUHIYYAH dan RUBUBIYYAH sekaligus dan SEBAB TERBESAR bencana Merapi. Betapa Allah Ta’ala tidak murka, ibadah yang seharusnya hanya dipersembahkan kepada-Nya mereka persembahkan kepada IBLIS PENGHUNI GUNUNG MERAPI. Mereka persembahkan beberapa bentuk ibadah kepadanya: 1. Memohon keselamatan kepadanya [Du'aul Mas'alah] 2. Harap kepadanya [ibadah hati] 3. Takut kepadanya [ibadah hati] 4. Tawakkal kepadanya [ibadah hati] 5. Biasanya ditambahi dengan sesajen berupa hewan sembelihan dan berbagai jenis makanan sebagai persembahan kepadanya Ini dalam uluhiyyah [ibadah]. Adapun dalam rububiyyah, mereka yakini iblis tersebut sebagai penyelamat mereka, pelindung dan pemberi rasa aman kepada mereka. Demi Allah, tidak ada sebab bencana yang melebihi kezaliman terbesar ini. Allah Ta’ala telah mengingatkan وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا “Dan mereka berkata, “(Allah) Yang Maha Penyayang mempunyai anak.” Sesungguhnya (dengan perkataan itu) kamu telah mendatangkan suatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, serta gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Penyayang mempunyai anak”.” (Maryam: 88-91) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga telah mengingatkan اجتنبوا السبع الموبقات قالوا يا رسول الله وما هن قال الشرك بالله والسحر وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق وأكل الربا وأكل مال اليتيم والتولي يوم الزحف وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan”, Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah apakah tujuh perkara yang membinasakan itu?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan riba’, lari dari medan perang (jihad), menuduh berzina wanita mu’minah padahal dia tidak tahu menahu (dengan zina tersebut)”.” (HR. Al-Bukhari, no. 2615 dan Muslim, no. 272) Lebih parah lagi, ketika mereka ditimpa musibah, bukannya kembali kepada Allah Ta’ala, bertaubat kepada-Nya dam memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, malah mereka kembali kepada juru kunci pewaris Maridjan dan kepada benda-benda [jimat] yang mereka yakini itulah yang bisa menyelamatkan mereka dari bencana. Maka dalam hal ini, kesyirikan mereka lebih buruk dari syiriknya orang-orang musyrikin Jahiliyah dahulu [yang Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam diutus untuk MENDAKWAHI dan MEMERANGI mereka], dimana mereka (sebagian musyrikin Jahiliyah) hanya menyekutukan Allah Ta’ala ketika mereka dalam keadaan aman dan tantram, namun ketika ditimpa bencana dan membutuhkan pertolongan, mereka kembali mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ “Maka apabila mereka naik kapal, mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka menyekutukan-Nya.” (Al-‘Ankabut: 65) Jika mereka mengatakan, “Kami mempersembahkan upacara kepada KYAI SAPU JAGAT [maupun bertawasul dengan para nabi dan wali] hanyalah agar beliau menjadi WASILAH atau perantara untuk mendekatkan diri kami kepada Allah Ta’ala, atau agar beliau memintakan keamanan untuk kami kepada Allah Ta’ala”. JAWABANNYA: Kesyirikan ini sama persis dengan yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman jahiliyah dahulu, dimana mereka memohon kepada berhala-berhala juga agar bisa lebih dekat dengan Allah Ta’ala atau mendapat syafa’at di sisi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: وَالّذِينَ اتّخَذُواْ مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاّ لِيُقَرّبُونَآ إِلَى اللّهِ زُلْفَىَ Dan orang-orang mengambil penolong selain Allah mereka berkata: “Kami tidaklah meng`ibadati mereka melainkan supaya mereka betul-betul mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.” [Az-Zumar: 3] Juga firman Allah Ta’ala وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ “Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” [Yunus: 18] Namun jika kenyataannya mereka berkeyakinan bahwa KYAI SAPU JAGAD yang memberikan keamanan kepada mereka [bukan sebagai wasilah untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dan mendapatkan keamanan dari-Nya], maka dari sisi ini pun kesyirikan mereka lebih buruk dari kesyirikan kaum musyrikin Jahilyah. Wallahul Musta’an. Oleh karenanya kami katakan, membantu korban bencana dengan materi sangat penting. Namun sungguh jauh lebih penting dari itu adalah membantu mereka dengan MENGAJAK mereka kepada TAUHID dan SUNNAH. Sebab, musibah yang menimpa mereka di dunia ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan adzab Allah Ta’ala di akhirat kelak jika mereka mati dalam keadaan menyekutukan Allah Ta’ala. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” (Al-Maidah: 72) Juga firman Allah Ta’ala إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ “Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” (Al-Bayyinah: 6) HARAPAN: Sebarkanlah nasihat dan dakwah ini kepada kaum muslimin, melaui status, notes, dll. Semoga menjadi sebab hidayah insya Allah Ta’ala. LINK INFORMASI RESMI SEPUTAR BENCANA MERAPI: “Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi aib seorang muslim Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hambanya selama hambanya menolong saudaranya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Silahkan kirim bantuan anda melalui jalur resmi yang dapat menyalurkannya kepada korban bencana, banyak di antara mereka kehilangan harta benda dan tempat tinggal, sebagian besar mereka adalah dari kaum muslimin. Info selanjutnya silahkan lihat di antara link berikut:Musibah Merapi dan Aliran Kebatinan (Kejawen)
بسم الله الرحمن الرحيم Musibah Merapi Menyingkap Aliran Kebatinan (Kejawen) Sangat disayangkan, di tengah-tengah derita kaum Muslimin Yogyakarta akibat musibah Merapi, Paguyuban Kebatinan Tri Tunggal (PKTT) Yogyakarta semakin memperparah dengan “musibah” yang menghantam aqidah kaum muslimin. Yaitu dengan mengadakan suatu upacara kesyirikan dan kedurhakaan kepada Allah Ta’ala; menyembelih untuk selain Allah Ta’ala dan berbagai bentuk kesyirikan lainnya, demi menyenangkan setan-setan penghuni Merapi. Ritual tolak bala ini tidak diragukan lagi adalah kesyirikan dan kekafiran kepada Allah Ta’ala, sebab menyembelih itu ibadah, dan ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’” (Al-An’aam: 162-163) Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ “Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain-Nya.” (HR. Muslim dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu) Namun ada hal yang lebih mendasar untuk dipahami oleh kaum muslimin, yaitu akar dari upacara-upacara syirik seperti ini berasal dari ajaran sesat Aliran Kebatinan atau yang juga dikenal dengan istilah Kejawen. Ajaran ini adalah sisa-sisa paganisme sebelum cahaya Islam menyinari nusantara dan masih dilestarikan oleh sebagian orang di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Ajaran ini tidak ada hubungan sedikitpun dengan Islam, bahkan sangat bertentangan dengan Islam. Betapa tidak, ajaran Islam dibangun di atas tauhid dan sunnah, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Ta’ala dan meneladani Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Sedangkan ajaran Kebatinan atau Kejawen dibangun di atas kesyirikan dan kedurhakaan kepada Allah Rabul’alamin. Kekafiran Ajaran Kebatinan atau Kejawen Pertama: Sinkretisme, mencampurkan antara Hindu, Budha dan Islam Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak menganggap salah ajaran Hindu dan Budha, bahkan mereka mencampurnya dengan Islam hingga menjadi suatu ajaran tersendiri. Adapun dalam Islam, barangsiapa yang membenarkan agama selain Islam, berarti dia telah kafir kepada Allah Ta’ala dan mendustakan Al-Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإِسْلاَمُ “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali ‘Imran: 19) Juga firman Allah Tabaraka wa Ta’ala: وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85) Kedua: Mereka tidak meyakini Allah Ta’ala sebagai satu-satunya sesembahan yang benar Padahal inilah inti dari kalimat syahadat [لاإله إلاالله], yang terdapat padanya dua rukun. Pertama: An-Nafyu (penafikan), yang tedapat dalam kalimat [لاإله], maknanya adalah menafikan atau menganggap salah semua sesembahan selain Allah Ta’ala. Kedua: Al-Itsbat (penetapan), yang terdapat dalam kalimat [إلاالله], yaitu menetapkan atau meyakini bahwa hanya Allah Ta’ala satu-satunya sesmbahan yang benar. Sehingga makna kalimat [لاإله إلاالله] adalah, “Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Ta’ala”. Makna ini terdapat dalam banyak ayat, diantaranya firman Allah Ta’ala: ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ “Yang demikian itu karena Allah Dialah yang haq (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62) Dan telah dimaklumi bersama bahwa syahadat [لاإله إلاالله] adalah pintu masuk ke dalam Islam, barangsiapa yang belum merealisasikannya berarti dia belum masuk ke dalam Islam. Demikian pula orang yang telah memasukinya, jika dia melanggarnya berarti dia telah keluar dari Islam. Ketiga dan keempat: Kesyirikan dalam rububiyyah dan uluhiyyah Keyakinan mereka bahwa setan-setan Merapi dan Pantai Selatan, seperti Kyai Sapu Jagat, Petruk dan Nyai Roro Kidul adalah pelindung-pelindung mereka, yang bisa memberikan manfaat dan juga menimpakan mudharat, adalah kesyirikan dalam rububiyyah. Mereka juga mendekatkan diri (taqorrub) kepada setan-setan itu dengan berbagai upacara dan mempersembahkan berbagai macam bentuk ibadah, maka ini adalah kesyirikan dalam uluhiyyah, sebagaimana telah kami jelaskan secara singkat pada artikel sebelumnya yang berjudul, Renungan Musibah Merapi http://nasihatonline.wordpress.com/2010/11/07/renungan-musibah-merapi/ Kelima: Tidak melaksanakan shalat Aliran Kebatinan atau Kejawen tidak mementingkan masalah shalat lima waktu, bagi mereka yang penting sudah eling maka itu cukup sebagai bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Ini adalah bentuk kekafiran kepada Allah Ta’ala, sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam: إن بين الرجل وبين الشرك، والكفر، ترك الصلاة “Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma) Permasalahan ini juga telah kami singgung dalam artikel yang berjudul, Keagungan Sholat dalam Islam: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/02/keagungan-sholat-dalam-islam/ Jika telah jelas bahwa ajaran Kejawen bukanlah ajaran Islam dan penganutnya bukan muslim, maka wajib bagi setiap muslim untuk berlepas diri (bara’) dari ajaran sesat ini dan penganutnya. Yaitu meyakini bahwa ajaran Kejawen adalah kekafiran kepada Allah Ta’ala dan menganggap bahwa penganutnya adalah orang-orang kafir. Barangsiapa yang tidak mengkafirkan mereka atau malah membenarkan ajaran mereka atau sekedar ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir seperti mereka. Permasalan ini telah kami bahas dalam ceramah yang berjudul, Pembatal-pembatal Keislaman: http://nasihatonline.wordpress.com/2010/08/08/pembatal-pembatal-keislaman/ Demikianlah ulasan ringkas tentang kekafiran ajaran Kebatinan atau Kejawen yang masih dianut oleh sebagian orang Jawa dan menganggapnya sebagai ajaran Islam. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Wallahu A’lam. HARAPAN: Sebarkanlah nasihat dan dakwah ini kepada kaum muslimin, melaui status, notes, dll. Semoga menjadi sebab hidayah insya Allah Ta’ala.
KHUTBAH MUHARRAM (Tahun Baru Islam)
SEJARAH
MUHARRAM (PERINGATAN TAHUN BARU HIJRIAH)
Assalaamu’alaikum, warahmatullaahi
wabarakaatuh.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْحَقِّ الْمُبِيْنِ، الَّذِي حَبَانَا
بِالْإِيْمَانِ واليقينِ،
وقال للنبي: (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ).
وقال تعالي: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ
وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ
فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ
أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ
فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا. فالصلاة والسلام
Rasanya, ketika kita berbicara tentang hijrah, tentang Muharram, atau tentang
tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita. Sekilas
pandang, kita –seakan– merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam
yang satu ini. Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan
memadai sebagai insan akademis Islam, yang kelak akan bersinggungan langsung
dengan kebutuhan masyarakat?
Sejarah bulan Hijriah
Sejarah mencatat, manusia pertama yang berhasil mengkristalisir hijrah nabi
sebagai event terpenting dalam penaggalan Islam adalah Sayidina Umar bin Al
Khattab, ketika beliau menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun
ke-17 sejak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah.
Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada
para sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, beliau selalu memusyawarahkan setiap
problematika umat kepada para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak
dari diktum diatas. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang
menginginkan, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun
kelahiran Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, awal diresmikannya
(dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang merupakan timing waktu
paling tepat dalam standar kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan ide
akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas awal perhitungan tarikh dalam
Islam.
Walaupun demikian, nampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pendapat
–sayidina Ali karamallâhu wajhah-- yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah
sebagai tonggak terpenting ketimbang event-event lainnya dalam sejarah
Islam, pada masalah yang satu ini. Relevan dengan klaim beliau: “Kita membuat
penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, adalah lebih karena hijrah
tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil.
Dalam penulisan tahun Hijriah sendiri, biasa ditulis dengan karakter hurup (هـ) dalam bahasa
Arab, atau (A.H.) singkatan dari Anno Hegirea (sesudah hijrah) untuk bahasa-bahasa
Eropa. sedangkan untuk bahasa Indonesia biasa ditulis dengan (H.). Peristiwa
tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari
Jumat.
Yang Unik Dalam Hijriah
Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah
mengatakan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal –bukan pada bulan
Muharram--, tapi mengapa pada dataran realita, pilihan jatuh pada bulan
Muharram, bukan pada bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi awal
penanggalan Islam.
Memang, dalam peristiwa hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada
hari Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari tempat persembunyiannya
di Gua Tsur pada awal bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13
September 622.
Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan
Muharram sebagai awal tahun hijriah. Ini lebih karena, beliau memandang di
bulan Muharramlah Nabi berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai
mengerjakan ibadah haji, juga dikarenakan dia termasuk salah satu dari empat
bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah untuk berperang di dalamnya.
Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan “Bulan Allah”. sebagaimana
sabdanya: “Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan adalah puasa di Bulan
Allah, yaitu bulan Muharram”. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab Shahihya).
Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya sampai di situ. Biasanya, pada hari
kesepuluh dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita membuat makanan
sejenis bubur yang dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain
semacam nasi tumpeng, maupun makanan lain sejenisnya, tergantung budaya
masing-masing tempat dalam mengekspresikan rasa bahagianya terhadap hari Islam
tersebut.
Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita –sebagai kaum terpelajar– adalah
tradisi bubur Asyura tersebut. Adakah hubungannya dengan Islam? Asyura itu
sendiri terambil dari ucapan “`Asyarah”, yang berarti sepuluh. Hari Asyura,
hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram.
Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan
kepada keluarganya pada hari tersebut.
Kalau kita berupaya untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah
Saw, dari hadits sahihnya kita dapati, bahwa ia adalah hari yang bersejarah
bagi umat Yahudi, karena pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s.
serta para pengikutnya, disaat menenggelamkan Firaun.
Adapun tradisi bubur Asyura --berdasarkan riwayat dhaif--, karena pada hari itu
Allah mengaruniakan nikmat yang besar kepada para nabi terdahulu, sejak zaman
Nabi Adam As. hingga Nabi kita Muhammad Saw.
Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari
bahtera, mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing
telah habis. Maka Nabi Nuh As. meminta masing-masing membawa satu genggam
biji-bijian dari jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis
biji-bijian, semuanya dicampurkan menjadi satu, lalu dimasak oleh beliau untuk
dijadikan bubur. Berkat ide Nabi Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari
itu. Dari cerita inilah, dikatakan sunat membuat bubur Asyura dari tujuh jenis
biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin pada hari itu.
Menurut hemat penulis, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak
bertentangan dengan kaidah agama yang lain. Terlebih, di saat tradisi semacam
ini mengandung nilai positif dan seiring (implisit) dengan ajaran Islam. Hanya
saja, yang selalu ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya manusia selalu
mengenang dan mengingat hari ketika Allah menurunkan nikmat atau azab kepada
manusia, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin
sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura
tersebut.
Sebagaimana gejala lain terkadang kita dapati juga dari masyarakat kita
–masyarakat Bekasi atau Betawi--, berkenaan dengan Muharram ini. Semacam
tradisi atau bahkan keyakinan tentang tidak mau melangsungkan akad pernikahan
di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada landasannya dalam Islam,
atau hanya sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi dan pengaruh
kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia.
Muharram dalam perspektif Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram
yang ada dalam Islam (Rajab, Zulka’dah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat
bulan ini, kita dilarang melancarkan peperangan kecuali dalam kondisi darurat
yang tidak dapat kita elakan. Firman Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36:
“Sesungguhnya jumlah bulan di sisi Allah ada dua belas bulan (yang telah
ditetapkan) di dalam kitab Allah ketika menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu adalah agama
yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan-bulan yang
dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya).
Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk
dilakukan di bulan Muharram. Demikian juga dengan bulan Rajab, Zulka’dah dan
Zulhijjah. Hanya maksiat dan kezaliman saja yang dilarang lebih keras oleh
Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas positif --semacam
pernikahan--, dalam perspektif Islam adalah satu aktifitas atau amalan
kebajikan, bukan maksiat dan kezaliman. oleh karenanya, tidak ada larangan
dalam Islam untuk melangsungkan acara perkawinan di bulan Muharram.
Namun saya lebih melihat, bahwa ketabuan semacam ini, --barangkali-- adalah
sebagai pengaruh dari doktrin Syiah. Secara kebetulan, Sayidina Hussain
terbunuh di Karbala pada bulan Muharram. Karenanya masyarakat Syiah memandang
bulan Muharram sebagai bulan dukacita dan bulan berkabung. Maka mereka
menghukumi haram untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan, atau acara
suka-ria lainnya di bulan itu. Pemahaman semacam ini tersebar luas ke
negara-negara Islam dan akhirnya sampai ke negara kita (wallahu a’lam).
Mengingat bahwa kalender hijriah dihitung berdasarkan rotasi bulan yang
berlawanan dengan rotasi matahari, maka mengakibatkan semua hari-hari besar
Islam dapat terjadi pada musim-musim yang berbeda. Sebagai contoh, musim haji
dan bulan puasa, bisa terjadi pada musim dingin atau pada musim panas. Dan yang
perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan musim
kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun.
Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang
dicetak, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan:
Pertama, tidak ada standardisasi internasional tentang cara melihat anak bulan.
Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses melihat bulan yang berbeda.
Ketiga, keadaan cuaca dan peralatan yang dipakai dalam melihat anak bulan.
Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang
100 persen benar, sehingga proses melihat anak bulan (ru’yah) masih tetap
relevan –meskipun sebenarnya dilematis-- dalam penentuan hari besar, seperti
bulan puasa, Idul Fitri dan Idul Adha.
Eksistensi Hijrah
Menginterpretasikan hijrah sebagai the founding of Islamic Community seperti
dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas
Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah.
Hijrah menggambarkan perjuangan menyelamatkan akidah, penghargaan atas prestasi
kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman
menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender
and the founding of Islamic Community. Sebagaimana klaim seorang profesor di
bidang kultur Indo-Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut
hijrah sebagai tahun (periode) menandai dimulainya era muslim dan era baru
menata komunitas muslim.
Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi
Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, adalah proklamasi tentang
terbentuknya suatu ummah.
Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap kematian, karena tidak
mung-kin Rasulullah takut terhadap kematian. Sebab jika Rasulullah Saw
mempertahankan eksistensi kaum muslimin di Makkah kala itu, ini akan
menyulitkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu baru berjumlah 100-an
orang. Rasulullah berhijrah setelah mempersiapkan kondisi psikologis dan
sosiologis di kota Madinah dengan mengadakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II
di musim haji.
Adapun dalam mengembangkan makna hijrah untuk menarik relevansi kekiniannya,
jelas tidak harus menggunakan parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah.
Karena menarik sosiologi sejarah menjadi kemestian yang harus dilalui itu
merupakan kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Jadi memaknai makna hijrah
saat ini adalah dengan menarik peristiwa itu sebagai ibrah (pelajaran).
Cita-cita dari hijrah Nabi Saw adalah untuk mewujudkan peradaban Islam yang
kosmopolit dalam wujud masyarakat yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis
tercermin dalam keputusan Nabi mengganti nama Yastrib menjadi Madinah, atau
Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), yaitu kota par exellence, tempat
madaniyah atau tamadun, berperadaban.
Transformasi Kebijaksanaan Sejarah
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati sebagai tahun
baru Hijrah (1 Muharram 1419), adalah peristiwa yang di dalamnya tersimpan
suatu kebijaksanaan sejarah (sunnatullah) agar kita senantiasa mengambil
hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran Rasulullah
saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa
hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi
konteks kekinian.
Pertama, adalah transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah
Rasulullah beserta kaum muslimin adalah untuk penyelamatan nasib kemanusiaan.
Betapa serangkaian peristiwa hijrah itu, selalu didahului oleh fenomena
penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat
kecil. Pada spektrum ini, orientasi keummatan mengadakan suatu transformasi
ekonomi dan politik.
Kebijaksanaan hijrah, sebagai sunnatullah dan sunnatur-rasul, di mana
masyarakat mengalami ketertindasan, adalah merupakan suatu kewajiban.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur'an, orang yang mampu hijrah tetapi tidak
melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim).
sebab luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya, pada dasarnya memang
disediakan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jika manusia atau
masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4:
97-100).
Tujuan dari hijrah, dalam visi al-Qur'an itu, agar manusia dapat mengenyam
'kebebasan'. Jadi tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu daerah ke satu
daerah lain, apalagi hanya sekadar untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan
politik belaka, melainkan lebih dari itu melibatkan hijrah mental-spiritual,
sehingga mereka memperoleh 'kesadaran baru' bagi keutuhan martabatnya. Hijrah
Nabi ke Madinah, telah terbukti mampu mewujudkan suatu kepemimpinan yang di
dalamnya berlangsung tatanan masyarakat berdasarkan moral utama (makarimal
akhlaq), suasana tentram penuh persaudaraan dalam pluralitas (ukhuwah) dan
pengedepanan misi penyejahteraaan rakyat (al-maslahatu al-ra'iyah).
Kedua, adalah transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini telah
mengentaskan masyarakat dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika
sebelum hijrah, kebebasan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal,
otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi
mereka dijamin secara perundang-undangan (syari'ah). Pelanggaran terhadap
syari'ah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain adalah penyangkalan
terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran
terhadap hak-hak aasasi yang telah dilindungi dan diatur dalam Islam, akan
dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan moral mereka dan
martabat manusia secara universal.
Nilai transformatif kebudayaan berasal dari ajaran hijrah Rasulullah, dengan
demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan moral dan
martabat kemanusiaan secara universal (rahmatan lil-'alamiin). Mengenai apa
saja martabat kemanusiaan atau hak-hak asasi --yang merupakan pundamen utama
suatu kebudayaan-- yang dilindungi Islam, al-Qur'an telah menggariskan
pokok-pokoknya seperti perlindungan fisik individu dan masyarakat dari tindakan
badani di luar hukum, perlindungan keyakinan agama masing-masing tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama, perlindungan keluarga dan keturunan,
perlindungan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, perlindungan
untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan perlindungan untuk mendapatkan
persamaan derajat dan kemerdekaan.
Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks
hijrah, dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah.
Persahabatan beliau dan persaudaraan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan
Nasrani, sesungguhnya adalah basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban
Rasulullah. Dari sejarah kita mengetahui, bahwasanya yang pertama menunjukkan
'tanda-tanda kerasulan' pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang
bertemu tatkala Nabi dan pamannya Abu Thalib berdagang ke Syria. Kemudian pada
hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja
Najasy. Dan pada saat membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama
kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian.
Karena itulah, pada masa kepemimpinan Nabi dan sahabat, Islam secara tertulis
mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahu ‘l
hâdi ilâ sabîlirrasyâd!
Menyongsong Tahun Baru Hijriyah
"Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah)
yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan." (QS: At-Taubah:105)
Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita
berkurang dan semakin mendekatkan kita kepada rumah masa depan, kuburan.
Pelajaran yang terbaik dari perjalanan waktu ini adalah menyadari sekaligus
mengintrospeksi sepak terjang kita selama ini. Kita punya lima hari yang harus
kita isi dengan amal baik. Hari pertama, yaitu masa lalu yang telah kita lewati
apakah sudah kita isi dengan hal-hal yang dapat memperoleh ridho Allah? Hari
kedua, yaitu hari yang sedang kita alami sekarang ini, harus kita gunakan untuk
yang bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Hari ketiga, hari yang akan datang,
kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan. Hari keempat, yaitu hari kita
ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan yang fana ini, apakah
kita sudah siap dengan amal kita? Hari kelima, yaitu hari perhitungan yang
tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita mendapatkan rapor yang baik,
dimana tempatnya adalah surga, atau mendapat rapor dengan tangan kiri kita,
yang menunjukan nilai buruk tempatnya di neraka. Pada saat itu tidak ada lagi
arti penyesalan. Benar sekali kata seorang ulama besar Tabi'in, bernama Hasan
Al-Basri, "Wahai manusia sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari, setiap
hari berkurang, berarti berkurang pula bagaianmu."
Umar bin Khatab berkata, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar